Minggu, 17 Oktober 2010

Tidak Dengan Dua Kaki

Marwa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panci. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 4 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Sarah hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Andri. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Marwa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Mujahidin. Marwa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Andri. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih. Entah mengapa, Marwa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti aktual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Andri selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustad Andri menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu.


"Marwa belum pulang?" sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Marwa mengajar. Marwa menoleh, "Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak." Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya penting tuh!" "Sekarang Bu?" "Ya, kalau Marwa sedang tidak repot." Marwa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Arif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Marwa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan di kompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk sholat berjamaah. "Assalamu'alaikum," ucap Marwa dan Bu Arif berbarengan. "Wa'alaikum salam," jawab Pak Arif dari dalam. "Silahkan masuk nak Marwa. Bagaimana nak Marwa, keadaan TPA sekarang?" "Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan." jawab Marwa. "Bagus! Bagus! Alhamdulillah." kata Pak Arif. "Begini nak Marwa, Bapak ingin bicara dengan nak Marwa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain." Pak Arif terdiam. "Begini nak Marwa....Apakah nak Marwa sudah siap menikah?" Marwa tersenyum. "Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi...belum ada jodohnya." "Hmmmm.......begitu ya," Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. "Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup.Bapak dan Ibu berasa nak Marwa cocok dengan dia." "Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?" tanya Marwa tersipu. "Lho...Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Marwa. Nak Marwa ini gadis yang sholehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia sholeh dan berakhlak baik. Nah...kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?" jelas Pak Arif. "Iya...iya!" Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya. "Kalau nak Marwa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak ke sini untuk dipertemukan dengan nak Marwa," Pak Arif melanjutkan. "Bagaimana nak Marwa?" "Bapak ini kok langsung main tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana," tukas Bu Arif. "Wah...dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda.Lulusan S1 dan S2 dari Al Azhar Kairo. Dia juga hafidz Quran." "Hafidz Quran?" gumam Marwa dalam hati. Salah satu doa yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Quran, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi hafidzhoh. "Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Mujahidin," papar Pak Arif. "Radio Mujahidin? Saya pendengar setia Radio Mujahidin lho Pak. Namanya siapa Pak, mungkin saja saya pernah mendengar," kata Marwa. "Namanya Andri Sulaiman." Deg! Jantung Marwa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempat dirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah yang diucapkan nama itu pula yang membuat Marwa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah. Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Marwa. "Ada apa Marwa?" "Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio." "Nah...jadi sebetulnya sudah kenal tho, walau pun cuma dari radio," Pak Arif terkekeh. "Bagaimana, kapan nak Marwa siap bertemu Hanif?" "Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini," jawab Marwa. "Oohh....ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah Ibumu bilang kami suruh langsung tanya saja ke nak Marwa. Ibumu setuju kok," ujar Pak Arif. Sepulangnya dari rumah kedua orang tua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Marwa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. "Benarkah Ustadz Andri jodohku?" tanyanya dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Marwa merasa telah sangat mengenal Andri. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Marwa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat. Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Marwa dengan Andri. Hari itu Marwa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya. "Assalamu'alaikum," Marwa mengucap salam di depan pintu. "Wa'alaikum salam. Nak Marwa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Andri," jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri sholehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Marwa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk. Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena membentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda, dan Pak Arif yang mendorong kursi roda sambil tersenyum. Marwa terhenyak, memandang tak percaya. "Inikah Ustadz Andri?" Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Marwa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Marwa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri. "Nak Marwa, ini Andri yang Bapak ceritakan dulu," kata Pak Arif memecah kesunyian. "Assalamu'alaikum dik Marwa," kata Andri. "Wa'alaikum salam," jawab Marwa. Ah, suaranya tidak berberda dengan di radio. Tetap berkharisma. "Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma....memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan. Mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi. Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja." Kata-kata mengalir deras dari bibir Andri. Marwa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas ke arah Andri. "Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya." bathin Marwa. "Saya tidak heran jika dik Marwa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri." Marwa diam tak bergeming. Dihadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, sholeh, berakhlak mulia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Marwa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Quran. Bukankah ustadz Andri adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna. "Andri, mungkin nak Marwa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Marwa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Marwa?" Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka. Marwa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan bathinnya. Tiba-tiba saja Marwa mengangkat wajahnya. "Saya sudah sholat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan Ustadz Andri. Saya punya satu pertanyaan untuk Ustadz Andri." "Silahkan dik Marwa, saya akan coba menjawab," kata Andri. "Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?" tanya Marwa. Andri tersenyum. "Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik." Marwa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Andri. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. "Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki." "Alhamdulillah!" berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Andri berseru. Resepsi pernikahan baru saja usai. Marwa mendorong kursi roda Andri menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Andri begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Marwa tampak cantik, bergaun
putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati. Andri meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, "Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah dari syetan apa yang engkau rizkikan, anak-anak kepada kami. Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua mahluk kecintaan-Nya. (terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya.)



sumber :  http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=10150292762030181&comments&il=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar